Selamat Datang di Media Online KUA Kecamatan Turi Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta. Alamat Kantor : Keringan, Wonokerto, Turi, Sleman (0274) 4461590

Jumat, 24 Mei 2013

KUA Turi Jadi Percontohan Tingkat Provinsi

Wabup Yuni Satia Rahayu memberikan bantuan untuk mendukung KUA dalam pembinaan masyarakat (Foto: Yusron Mustaqim)


SLEMAN (KRjogja.com) - Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamataan Turi mewakili Kabupaten Sleman maju dalam penilaian KUA percontohan tingkat provinsi. Untuk itulah KUA ini dilakukan evaluasi, Selasa (21/05/2013).

Tim evaluasi dipimpin langsung Kepala Kemenag Prov DIY, Drs H Maskul Haji dan menyampaikan tugas kemenag antara lain kewenangan pembinaan terhadap 6 agama di Indonesia. Selain itu, memperlakukan semua agama sama secara adil dan sinergis.

Yang jelas dalam penilaian tersebut tim ingin mengetahui dari dekat kondisi KUA Turi apakah kondisinya sama dengan yang ada dalam laporan apakah sudah sesuai atau belum. Lebih lanjut disampaikan bahwa fungsi KUA antara dulu dan sekarang sudah lain, fungsi KUA sekarang adalah fungsi pembinaan.

“Yang memprihatikan dana pembinaan untuk KUA selama satu tahun hanya Rp 2 juta. Itu perlu menejemen yang baik agar dapat dilaksanakan dengan baik,” ujar Maskul Hadi di sela penilaian.

Sementara, Wakil Bupati Sleman, Yuni Satia Rahayu SS Mhum menyatakan, keberadaan KUA tidak dapat dilepaskan dengan masalah pernikahan. Karena itu, KUA dituntut tidak hanya memberikan pelayanan admisnistratif pernikahan, namun juga harus nerupaya agar pernikahan yang dilangsungkan merupakan tonggak terwujutnya keluarga yang hatmonis, sakinah dan berkualitas. (Usa)
Sumber : http://krjogja.com/read/173515/kua-turi-jadi-percontohan-tingkat-provinsi.kr

Jumat, 17 Mei 2013

MELURUSKAN ARAH KIBLAT

Oleh : KUA TURI
Ketika mengikuti Pelahitan Hisab Ru’yat yang diselenggarakan PP Muhammadiyah dan Departemen Agama Pusat bulan juli 2007, sebetulnya penulis telah mendapatkan informasi  dari Badan Hisab Ru’yat Prop. DIY sebagaimana ekspose Kanwil DEPAG DIY yang dimuat harian ini tanggal  23 Mei 2009 yang menyatakan bahwa 77 % dari 78 masjid jami’ kecamatan se-DIY belum tepat arah kiblatnya. Dengan demikian ekspose tersebut dapat dikatakan terlambat.
Mengapa terlambat? karena bila setelah pengukuran bulan April-Mei 2007 segera diumumkan dan ditindaklanjuti dengan gerakan meluruskan arah kiblat keseluruh masjid dan musholla dengan melibatkan Kantor Urusan Agama sebagai organ terbawah Departemen Agama, maka semestinya saat ini sudah tidak ada lagi ekspose semacam itu. Minimal tanggal 28 Mei kemarin sekedar moment untuk melakukan konfirmasi ulang terhadap pengukuran yang telah dilakukan.
Karena kegiatan tersebut belum dilakukan, maka setidaknya menyisakan 2 permasalahan, yaitu persoalan teknis dan masalah fiqhiyah.
Secara teknis, barangkali ekspose tersebut dilakukan dengan harapan agar umat Islam, khususnya pengurus masjid/musholla, melakukan kegiatan rusydul qiblat (meluruskan arah qiblat masjid/musholla) saat istiwa’ a’dhom (saat matahari berada diatas kota Makkah / Ka’bah) pada pukul 16.18 WIB tanggal 28 Mei kemarin.
Meski sederhana, namun kegiatan rusydul qiblat menggunakan bayangan matahari memerlukan beberapa persyaratan, diantaranya : 1) kita harus mengetahui saat yang tepat keberadaan matahari diatas Ka’bah, 2) tempat yang akan diluruskan arah kiblatnya harus terbuka sehingga memungkinkan sinar matahari dapat menimbulkan bayangan, 3) pada jam tersebut keadaan harus terang, karena kalau mendung tidak akan mendapatkan bayangan benda, 4) benda/tongkat yang digunakan harus lurus dan dipasang dengan  posisi tegak lurus diukur dengan menggunakan bandul, dan 5) jam yang digunakan harus dikalibrasi (dicocokkan) dengan waktu GMT.
Karena kegiatan ini sangat tergantung dengan cuaca, sementara cuaca di DIY beberapa hari terakhir cenderung mendung, maka kegiatan yang diharapkan dapat dilakukan tersebut bisa jadi tidak dapat dilakukan atau kalaupun kegiatan itu dilakukan tidak dapat mendapatkan hasil yang akurat.
Dengan demikian, Depag tidak cukup melakukan ekspose dan memberikan arahan tentang tatacara rusydul qiblat, namun perlu menindaklanjuti ekspose tersebut dengan kegiatan memberikan fasilitasi dan bimbingan teknis meluruskan arah kiblat dengan metode lain yang mungkin secara teknis sederhana dan dapat dilakukan tanpa harus tergantung oleh cuaca, seperti distribusi       disertai bimbingan cara penggunaannya.
Pentingnya kegiatan  rusydul qiblat ini didasarkan pada hadits riwayat Imam Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah, nabi bersabda : “.....apabila kami (akan) mendirikan shalat, sempurnakanlah wudhu, kemudian menghadaplah kiblat dan bertakbirlah...”.
Berdasar hadis ini ulama menjadikan menghadap kiblat sebagai syarat sahnya sholat. Oleh karena itu, setelah mengetahui bahwa 77 % Masjid tidak tepat arah kiblatnya, maka akan menimbulkan keresahan ataupun pertanyaan umat Islam terhadap kualitas atau bahkan keabsahan sholat. Dan persoalan ini apabila tidak diantisipasi akan menimbulkan sikap menyalahkan orang-orang terdahulu yang membangun masjid/ musholla yang mereka gunakan untuk beribadah saat ini.
Memang Depag telah mengantisipasi hal tersebut dengan mengemukakan pendapat ulama bahwa kekurang-tepatan arah qiblat tidak serta merta membatalkan keabsahan sholat. Hal itu tentu berlaku bagi orang yang tidak mengetahui ketepatan arah kiblat. Namun ketika umat telah mengetahui bahwa 77 % Masjid di DIY belum tepat arah kiblatnya, berarti kita tidak boleh menyederhaanakan persoalan tersebut. Karena jarak Yogyakarta dengan Ka’bah (Makkah) sekitar 8.361 Km, maka kesalahan satu derajat bisa menjadi sangat berpengaruh terhadap ketepatan arah shalat kita.
Oleh sebab itu gerakan meluruskan arah kiblat perlu kita lakukan tanpa harus membongkar masjid kita namun cukup dengan membenarkan shoff masjid  kita. Dengan pendekatan persuasif dan penjelasan yang baik, insya’allah kegiatan tersebut dapat diterima oleh semua masyarakat dan tokoh agama. Ceritera bahwa KH. Ahmad Dahlan diusir dari kampung Kauman ketika merubah shoff musholla di Kauman cukuplah menjadi tonggak betapa menyempurnakan ibadah itu penting dan terus menerus perlu kita lakukan.

ZAKAT DAN KESEJAHTERAAN SOSIAL

Oleh : pengurus BAZ Turi
Artinya : “Ambillah dari (sebagian) harta mereka zakat, sebagai pembersih (atas harta) mereka dan penyuci (jiwa) mereka dan doakanlah mereka, sesungguhnya do’a kamu akan menentramkan mereka (pembayar zakat), dan Allah maha mendengar lagi maha mengetahui “ (At-Taubah 103)
Menurut Ibnu al 'Arabi, zakat dari segi bahasa berarti Nama' (kesuburan), Thaharah (bersih/suci) dan Tazkiyah / tathhier (Mensucikan dan Membersihkan). Zakat bermakna pembersihan dan kesuburan, karena dengan mengeluarkan zakat, maka harta penghasilan dan simpanan menjadi bersih. Bersih dari sesuatu yang haram dimiliki, yaitu hak-hak orang lain yang telah diwajibkan untuk kita keluarkan.
Dalam Pasal 1 (2) UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, dijelaskan bahwa Zakat adalah harta yang wajib disisihkan oleh seorang Muslim atau Badan yang dimiliki oleh orang Muslim sesuai dengan ketentuan Agama (Islam).
Pembayaran zakat dilakukan oleh seorang Muslim dari harta/pendapatan/perniagaan/tanaman/peternakan yang berbentuk uang, hasil tanaman atau ternak dengan kadar  tertentu sesuai jenis hartanya untuk dibagikan kepada 8 asnaf atau golongan yang berhak menerima zakat..
Besaran Zakat bervariasi sesuai dengan jenis harta yang wajib dizakati, yaitu antara 2,5 %, 5 % 10 % dan 20 %.
Zakat merupakan salah satu rukun Islam dan menjadi salah satu unsur pokok bagi tegaknya syariat Islam. Oleh sebab itu hukum zakat adalah wajib (fardhu) atas setiap Muslim yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu. Zakat termasuk dalam katagori ibadah sebagaimana Shalat, haji, dan puasa) yang telah diatur secara rinci dan paten berdasarkan al-Qur'an dan Sunnah, sekaligus merupakan amal sosial kemasyarakatan dan kemanusiaan yang dapat berkembang sesuai dengan perkembangan ummat manusia.
Zakat dimaksudkan untuk mensucikan harta pemiliknya. Harta yang dizakati akan diberkati dan dipelihara oleh Allah. Adapun harta yang tidak dizakati, ia tidak mendapat perlindungan Allah. Harta-harta itu akan segera lenyap dari permukaan bumi. Allah akan membinasakannya dengan menjatuhkan bencana yang beraneka ragam macamnya. Harta tersebut tidak akan memberi keuntungan bagi pemiliknya di akhirat.
Dalam Islam, zakat itu merupakan manifestasi dari kegotong-royongan  antara hartawan dan fakir miskin. Pengeluaran Zakat merupakan perlindungan bagi masyarakat dari bencana kemasyarakatan, yaitu kemiskinan sosial dan kelemahan fisik maupun mental. Dengan zakat, masyarakat akan terpelihara dari berbagai bencana, karena zakat itu menyuburkan masyarakat dan memelihara mereka dari kelemahan, kemiskinan dan bencana - bencana kemasyarakatan yang lain.
Zakat merupakan ibadah Maaliyah Ijtimaiyyah yang memiliki posisi yang sangat penting, strategis dan menentukan baik dari sisi ajaran Islam maupun dari sisi pembangunan kesejahteraan umat.
Dalam Al Qur'an, ada 27 ayat yang memuji orang-orang yang yang secara sungguh-sungguh menunaikannya, dan sebaliknya memberi ancaman bagi orang yang sengaja meninggalkannya. Karena itu pula, Rasulullah pernah melakukan isolasi sosial kepada seseorang yang enggan membayarkan zakat hartanya. Begitu juga Abu Bakar As Ashidiq bertekad memerangi orang yang mengerjakan shalat akan tetapi secara sadar dan sengaja tidak menunaikan zakat
Dari sisi pembangunan kesejahteraan umat, AM Syaefuddin berpendapat bahwa zakat merupakan salah satu instrumen penting dalam pemerataan pendapatan. Dengan zakat yang dikelola dengan baik, dimungkinkan membangun pertumbuhan ekonomi sekaligus pemerataan pendapatan (economic growth with equity). Zakat merupakan soko guru dari kehidupan ekonomi yang dicanangkan Al Quran. Dengan Zakat harta akan selalu beredar dan berputar. Zakat akan mencegah terjadinya akumulasi (penumpukan) harta pada satu tangan atau sebagian orang kaya saja. Penumpukan harta di tangan segelintir orang, secara tegas telah dilarang oleh Allah, sebagaimana Firman-Nya :
Artinya : ”Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu. apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya”.
Dalam menentukan harta sebagai obyek Zakat, Ada dua pendekatan yang disampaaikan Al Quran dan Hadits;  yaitu secara terperinci (tafsili) dan secara glogal (ijmali).
Terhadap obyek zakat yang sudah dijelaskan secara terperinci, seperti Emas dan perak, Hewan ternak, pertanian dsb. tentu kita tinggal melaksanakan sesuai ketentuan yang ada. Sedangkan terhadap obyek zakat yang disebutkan secara global, Ulama meng-qiyaskan hal tersebut  kepada ketentuan ijmali yang mendekati. sebagaimana dalam Qs Al Baqarah : 267.
Artinya : ” Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang kami keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. dan Ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji”.
Dalam ayat ini Allah hanya menyebut Maal sebagai obyek Zakat, dan tidak secara spesifik menyebut emas, perak, kambing dsb. Terhadap ayat ini Ahmad Mustafa Al Maraghi menjelaskan bahwa ayat tersebut merupakan perintah  Allah kepada orang-orang yang beriman untuk mengeluarkan zakat dan infaq dari segala macam harta yang dimiliki dan diusahakan. Oleh karena itu, segala macam penghasilan, pendapatan dan yang menghasilkan uang, termasuk katagori obyek zakat.  Jika telah memenuhi syarat zakat, maka wajib dikeluarkan Zakatnya. Dalam pengertian inilah kemudian dimasukkan Zakat Profesi, seperti dokter, pegawai, dosen, konsultan, pengacara, perancang pakaian dll. Demikian juga dengan perusahaan yang dikelola secara sendiri maupun bersama-sama, seperti PT, CV, Koperasi, setiap tahun harus dikeluarkan zakatnya. Zakat disyariatkan oleh Allah Swt pada tahun ke II Hijriyah. Sebagaimana Firman Allah Qs An Nisa : 77:
Artinya : ”Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka "Tahanlah tanganmu (dari berperang), Dirikanlah sholat dan tunaikanlah zakat!" ...
Zakat terdiri dari dua macam, Pertama zakat nafs atau zakat jiwa yang dikenal dengan Zakat fitrah. Diwajibkan kepada setiap jiwa, meski pun terhadap bayi yang baru lahir menjelang shalat Idul Fitri. Zakat ini diberikan berkenaan dengan selesainya mengerjakan shiyam Ramadhan dan dikeluarkan dengan batas akhir sebelum shalat Idul Fitri. Secara umum zakat, baik zakat Maal maupun zakat Fitrah, dibagikan kepada 8 (delapan) asnaf (At taubah : 60) . Namun  sebagian ulama berpendapat, bahwa zakat Fitrah ini dibagikan hanya kepada dua golongan saja, yaitu fakir dan Miskin. Hal ini didasarkan pada Hadits  Nabi :
Artinya : .....(fungsi) Zakat fitrah ialah untuk mensucikan orang yang berpuasa dan memberi makan bagi orang-orang miskin.....
Dalam Hadits ini mencakup juga orang Fakir. Pendapat ini didasarkan kepada ketentuan bahwa fungsi hadits ialah untuk menjelaskan atau merinci ketentuan yang ada dalam Al Qur'an. Dalam hal ini pernyataan 'Umum" dalam Al Qur'an dijelaskan dengan pernyataan 'khusus' dalam Hadits Nabi, sehingga dalam kasus Zakat Fitrah maka Firman Allah di-"takhshis " (dikhususkan) oleh Hadits Nabi. Dalam konteks hukum dikenal lex generalis dan lex specialits
Kedua, Zakat Maal. Yaitu zakat harta. Harta adalah segala sesuatu yang dapat dimiliki (dikuasai) dan dapat digunakan (dimanfaatkan) menurut lazimnya. Sesuatu dapat disebut dengan Maal (harta) apabila memenuhi 2 syarat, yaitu Pertama : dapat dimiliki, disimpan, dihimpun dan dikuasai; Kedua dapat diambil manfaatnya. Syarat zakat ialah harta tersebut adalah dimiliki secara sempurna (al milku at-tam) serta telah mencapai nishab dan atau haul.   Nishab ialah batasan minimal jumlah harta yang merupakan ketentuan wajib Zakat,. Selain yang sudah ditentukan secara terperinci dalam Al Quran ataupun Hadits,  maka ulama meng-qiyaskan ketentuan nishabnya pada Nishab Emas dan Perak, yaitu 85 gram emas murni (atau  senilai 20 Dinar; 1 Dinar = 4, 25 gram emas murni).
Adapun Haul ialah batas masa kepemilikan harta. Artinya harta wajib dizakati apabila sudah dimiliki/ dikuasai selama satu tahun. Untuk Zakat profesi dan perdagangan  dihitung dari pendapatan dikurangi biaya-biaya selama satu tahun, apabila telah memenuhi ketentuan nishab, maka ia wajib dizakati.
Yang lebih penting lagi ialah, bahwa zakat sangat tergantung kepada kejujuran kita masing - masing dalam menghitung harta/kekayaan. Karena yang lebih mengetahui berapa jumlah harta kita adalah kita sendiri. Disinilah pentingnya kejujuran dan kesadaran para aghniya (orang-orang kaya) untuk secara sadar menghitung sendiri harta dan kekayaan masing-masing.
Penting kami sampaikan disini, bahwa sudah waktunya kita memprioritaskan satu dua orang yang kita anggap mampu mengembangkan zakat tersebut sebagai modal kerja, sehingga tahun yang akan datang mereka mampu berzakat, ketimbang sekedar membagi rata zakat harta kita untuk kemudian habis dikonsumsi. Insyaallah bila hal ini yang terjadi, maka kemiskinan dan pengangguran akan terkurangi.

PERKEMBANGAN HUKUM ZAKAT DALAM PERPEKTIF PEMBERDAYAAN UMAT

Pendahuluan
Dalam Islam, pelaksanaan zakat merupakan sebuah ibadah. Dan ibadah yang berkualitas mempersyaratkan tiga hal, 1) Kaifiyah (tata caranya) harus benar, terpenuhi syarat dan rukunya 2) Ruh (esensi) dari ibadah itu mampu mendatangkan hikmah baik bagi diri maupun orang lain, dan 3) mampu menimbulkan atsar (bekas) terhadap pelakunya.
Dalam konteks zakat, tiga prasarat tersebut ternyata belum nampak. Persoalannya 1) Umat Islam belum sepenuhnya memahami ketentuan-ketentuan zakat, terlebih bila dikaitkan dengan perkembangan bermacam kegiatan maaupun industri yang dalam Al Qur’an, Sunnah maupun fiqh klasik belum diatur. 2) pelaksanaan zakat belum mampu mewujudkan misinya, yaitu mengentaskan kemiskinan dan mengangkat mustahiq menjadi muzakki. Zakat masih dipahami dibagi rata dan dibagi habis, 3) pelaksanaan zakat masik lebih bersifat ritual dan seremonial tetapi kurang menyentuh dan menimbulkan atsar yang positif bagi muzakki. Oleh karena itu penyuluhan dan sosialisasi tentang zakat beserta perkembangannya perlu secara terus menerus dilakukan.
Selanjutnya, bersamaan dengan itu, system dan manajemen pengelolaan zakat juga perlu terus-menerus ditingkatkan sehingga mampu semakin meningkatkan kepercayaan muzakki (pembayar zakat) kepada amil (pengelola zakat) karena pengelolaan yang jelas programnya, terukur implementasinya dan dapat dipertanggungjawabkan (akuntabel).
Pengertian Zakat
Zakat dari sisi bahasa (etimologis) berarti : Thaharah (bersih), nama’ (tumbuh), barakah (berkah), dan Tazkiyah (penyucian). (Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jilid 1,)
Dari sisi terminologis (Istilah) Imam an Nawawi mengutip pengertian Al Mawardi tentang pengertian zakat :
الزكاة اسم لاخذ شيءمخصوص من مال مخصوص علي اوصاف مخصوصة لطائفة مخصوصة
“Zakat adalah sebutuan untuk pengambilan tertentu ari harta yang tertentu menurut sifat-sifat yang tertentu untuk diberikan kepada golongan yang tertentu. (An Nawawi, Al Majmu’,)
Sebagaimana juga Husay Syahathah mendefinisikan zakat adalah : Bagian tertentu dari harta tertentu yang dibayarkan kepada orang tertentu yang berhak menerima, sebagai ibadah dan ketaatan kepada Allah. (Syahathah, Akuntansi Zakat, hal. 4)
Istilah Zakat
·        Zakat (Shodaqah wajib) (Al Baqarah : 43)
·        Infaq (At Taubah : 34)
  • Shodaqah (AT Taubah : 104)
  • Haq (Al An’am : 141)
  • Nafaqah (At Taubah : 34)
  • Afuw (Al A’raf : 199)
Dasar Hukum Zakat
·         Perintah melaksanakan Zakat (Al Baqarah [2]: 43)
·         Perintah Memungut zakat (At Taubah [9] : 103)
Harta yang wajib dizakati
·         Zakat atas harta dan perkembangannya :
-          Uang tunai dan investasi
-          Barang perdagangan, industri dll
-          binatang ternak
·         Zakat atas dzat harta :
-          rikaz (temuan)
-          zakat harta mustafad (diterima setelah sebelumnya tidak dimiliki; spt hadiah)
·         Zakat atas pemasukan dari harta qinayah (harta yang dimiliki bukan untuk perdagangan) spt zakat pertanian dan zakat harta mustaghalat (dimiliki untuk diambil hasilnya)
·         Zakat atas perolehan harta; zakat profesi, upah/gaji
Zakat Kontemporer
1.      Gaji
2.      Profesi
3.      Investasi/Simpanan/Deposito
4.      Industri
5.      Dll (semua sektor produksi maupun jasa yang bertujuan untuk menghasilkan)
Dasar hukumnya
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنْ الْأَرْضِ وَلَا تَيَمَّمُوا الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنفِقُونَ وَلَسْتُمْ بِآخِذِيهِ إِلَّا أَنْ تُغْمِضُوا فِيهِ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيد
Syarat Harta wajib dizakati
·         Milik penuh/sempurna (milk at-tam)
·         Berkembang / dikembangkan
·         Kelebihan dari nafkah asasi bagi muzakki dan yang menjadi tanggungannya.
·         Bebas dari hutang
·         Mencapai nishab (85 gram emas murni)
·         Melewati haul. (kecuali pertanian, buah dan rikaz).
Zakat dari Harta Haram
     Islam menekankan bahwa sumber harta dan pertumbuhannya harus halal dan baik. Al Baqorah [2] : 168        
     Islam melarang semua bentuk dan jenis pendapatan yang haram dan buruk, termasuk sarana untuk menuju kepadanya, karena semua itu merugikan terhadap hak orang lain dan masyarakat.
     Contoh : riba, suap, hasil mencuri, merampok, penipuan, judi, perdagangan barang yang dilarang, dll.
Zakat dari harta tercampur
·         Harta yang disimpan dalam bank ribawi
·         Keuntungan individu atau saham perusahaan yang beraktifitas dalam halal dan haram sekaligus.
·         Menurut Imam Ghazali : harta yang tercampur dipisahkan dahulu, baru dizakati dari yang halal. Bila tidak dapat dipisahkan tetapi dominan halal, maka dikeluarkan zakatnya.=> diiringi istighfar dan taubat dan tidak bermuamalat yang syubhat lagi.
Harta yang tidak tunduk pada zakat
·         Harta milik publik untuk kepentingan umum
·         Harta milik lembaga sosial (keagamaan), spt masjid, TPA dll
·         Wakaf untuk umat
·         Dana solidaritas sosial, kesehatan dan pelayanan sosial lainnya. Karena termasuk dari tujuan zakat.
Prinsip Zakat
·         Niat
·         Bukti keimanan
·         Zakat adalah haq bukan pemberian
·         Tidak ada hillah (jalan untuk bebas dari kewajiban)
·         Ruh : Kemauan untuk bersyukur dan persaudaraan (ukhuwah)
·         Sesuai pos yang dituntunkan syari’.
Unsur Zakat
·         Jenis harta yang tunduk pada zakat (al maujudat al-zakawiyah)
·         Kewajiban (hutang tahun berjalan)
·         Tempat zakat (wi’a al-zakat = tempat zakat = harta yang wajib dizakati)
·         Nishab (kadar)
·         Harga Zakat (ketentuan zakatnya)
·         Zakat
Langkah Menghitung Zakat
1.      Menetapkan haul (kecuali hasil pertanian, tambang dan rikaz)
2.      Menetapkan dan mengkalkulasi harta
3.      Menetapkan dan mengkalkulasi hutang (tahun berjalan)
4.      Menetapkan tempat zakat (harta – kewajiban)
5.      Menetapkan nishab
6.      Membandingkan tempat zakat dengan nishab
7.      Menetapkan kadar zakat (2,5 – 20 %)
8.      Menghitung zakat (tempat zakat x kadar zakat)
9.      Penetapan jumlah zakat yang harus dibayar (dan kepada siapa dibebankan)
Zakat perdagangan
1.      Haul = 1 (satu) tahun
2.      Asset/harta (barang+piutang) = Rp. 100.000.000,-
3.      Kewajiban (barang titipan+hutang) = Rp. 70.000.000,-
4.      Tempat Zakat (harta – kewajiban) (Rp. 100.000.000 – Rp. 70.000.000) = Rp. 30.000.000
5.      Nishab = 85 gram emas @ Rp. 300.000 = Rp. 25.500.000,-
6.      Harga zakat = 2,5 % qomariyah, ( 2,575 % syamsiyah)
7.      Zakat = Rp. 750.000 atau Rp. 772.500,-
Zakat Profesi & Jasa
         Haul : 1 tahun, bisa dibayar setiap bulan (uang muka zakat)
         Pendapatan           : Rp. 2.500.000/bulan = Rp. 30.000.000 setahun
         Biaya hidup asasi : Rp. 1.000.000/bulan = Rp. 11.000.000
         Tempat Zakat : (30.000.000 – 12.000.000) = Rp. 18.000.000
         Nishab = 85 gram emas @ Rp. 300.000 = Rp. 25.500.000,- 
         Zakat =  belum wajib zakat
         Sebagai wujud syukur, lebih utama dikeluarkan dari pendapatan kotor;
         meskipun belum wajib zakat, dapat dan dianjurkan untuk berinfaq/shodaqoh yang jumlahnya tidak ditentukan.
Esensi Zakat
·         Zakat pada dasarnya adalah wujud kepatuhan kepada Allah
·         Pelaksanaan zakat lebih merupakan ungkapan rasa syukur atas nikmat yang diberikan oleh Allah kepada kita.
·         Zakat mampu merekatkan ukhuwah & solidaritas diantara umat manusia dan menghindarkan sikap iri.
Atsar
      Orang yang telah mampu memahami esensi zakat akan gemar bersedekah dan menolong (kaum lemah) untuk kepentigan sabilillah, meskipun sedang dalam kondisi terbatas sekalipun
      (Alladzina yunfiquuna fissarra’ wadh-dharra’
Menghitung Zakat Sendiri
  • Zakat Profesi :
            Jumlah pendapatan – Biaya hidup x 2,5 %
  • Zakat Perdagangan/Industri :
            Asset – Kewajiban (berjalan) x 2,5 %
  • Zakat Pertanian :
            Hasil panen x 5 % (atau 10 %)
  • Zakat Hadiah (Rikaz)
            Nilai hadiah x 20 %
Penting
  • Jangan terpancang pada jumlah dan prosestase
  • Karena inti zakat adalah perasaan syukur
  • 2,5 % adalah jumlah terendah, lebih dari itu boleh saja
Infaq & Shodaqoh
  • Tidak terbatas oleh jumlah dan waktu
  • Kapan saja bisa dilakukan dan baik
Maraji’
Anonim, Bunga Rampai Syariat Islam, Hizbut Tahrir Indonesia, Jakarta, 2002.
Ash-Shiddiqy, T.M. Harsbi, Pedoman Zakat, Pustaka Rizki Putra, Semarang, 1999
Daradjat, Zakiah, Zakat pembersih harta dan jiwa, Yayasan Pendidikan Islam RUHAMA, Jakarta, 1992.
Hadjiry, Farid, dkk (tim), Pola Pembinaan Lembaga Amil Zakat, Dirjen Bimas Islam & Penyelenggaraan Haji direktoran pengenbangan zakat dan wakaf, Jakarta, 20053
NN, Pengelolaan Zakat, Departemen Agama Kab. Sleman, Yogyakarta, 2003.
Sabiq, Sayyid, Fiqh Sunnah, Jilid 1, cet. III, Dar al fikr, Beirut, 1983
Suyitno, dkk (ed), Anatomi fiqh zakat : Potret dan pemahaman Badan Amil Zakat Sumatra Selatan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005.
Syahatah, Husayn, Akuntansi Zakat; panduan praktis penghitungan zakat kontemporer, Pustaka Progresif, Jakarta, 2004.
Tamzis, Muhammad, dkk (tim), Manajemen Pengelolaan Zakat, Dirjen Bimas Islam & Penyelenggaraan Haji direktoran pengenbangan zakat dan wakaf, Jakarta, 2005.
Zahrah, Muhammad Abu, Zakat dalam perspektif social, Cet. Ketiga, Pustaka Firdaus, Jakarta, 2004
BAZ TURI

Senin, 13 Mei 2013

Bentuk Nikah yang Terlarang (4)

Karena saking cinta di antara dua pasangan ketika tidak disetujui ortu, akhirnya kawin lari jadi pilihan. Ada orang yang asal copot diangkat sebagai wali, dan akhirnya mereka menikah. Padahal hakekatnya nikah seperti ini bermasalah. Inilah yang akan diterangkan selanjutnya dalam sebagian bahasan kali ini.
Kelima: Nikah dengan Mantan Isteri yang Sudah Ditalak Tiga
Nikah seperti ini terlarang. Mantan isteri yang telah ditalak tiga tidak bisa dinikahi lagi oleh suaminya yang dulu sampai ia menikah dengan pria yang lain dan bercerai dengan cara yang wajar (bukan akal-akalan). Allah Ta’ala berfirman,

فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يَتَرَاجَعَا إِنْ ظَنَّا أَنْ يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 230)
Wanita yang telah ditalak tiga kemudian menikah dengan laki-laki lain dan ingin kembali kepada suaminya yang pertama, maka ketententuannya adalah keduanya harus sudah bercampur (bersetubuh) kemudian terjadi perceraian, maka setelah ‘iddah ia boleh kembali kepada suaminya yang pertama. Dalil yang menunjukkan harus dicampuri adalah sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam,
أَتُرِيدِينَ أَنْ تَرْجِعِى إِلَى رِفَاعَةَ لاَ حَتَّى تَذُوقِى عُسَيْلَتَهُ وَيَذُوقَ عُسَيْلَتَكِ
Apakah engkau ingin kembali pada Rifa’ah (suamimu yang pertama). Tidak boleh sampai engkau merasakan madunya dan ia pun merasakan madumu.” (HR. Bukhari no. 2639 dan Muslim no. 1433)
Keenam: Kawin Lari
Kawin lari yang dimaksud di sini bisa jadi berbagai macam pengertian. Bisa jadi, tanpa wali nikah, atau ada wali (tidak jelas) dan tidak ada izin dari wali sebenarnya. Ada juga kawin lari dengan kumpul kebo, tinggal satu atap tanpa status nikah. Boleh jadi ketika hamil mereka menjalin hubungan RT secara resmi. Yang kami bahas di sini adalah kawin lari, lalu menikah dengan wali yang tidak jelas (asal copot), jadi sama saja tidak memakai wali. Dan yang wajib ada wali adalah si wanita, bukan laki-laki.
Padahal wali memiliki urutan yang ditetapkan oleh para ulama. Seperti ulama Syafi’iyah membuat urutan:
  1. Ayah
  2. Kakek
  3. Saudara laki-laki
  4. Anak saudara laki-laki (keponakan)
  5. Paman
  6. Anak saudara paman (sepupu)
Dan pengertian wali wanita adalah kerabat laki-laki si wanita dari jalur ayahnya, bukan ibunya. Jika masih ada kerabat yang lebih dekat seperti ayahnya, maka tidak boleh kerabat yang jauh seperti paman menikahkan si wanita. Boleh saja jika si wali mewakilkan kepada orang lain (seperti si ayah kepada paman) sebagai wali si wanita. Dan ketika itu si wakil mendapat hak sebagaimana wali. Dan ingat, syarat wali adalah: (1) Islam, (2) laki-laki, (3) berakal, (4) baligh dan (5) merdeka (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 3: 142-145).
Dalil-dalil yang mendukung mesti adanya wali wanita dalam nikah.
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ : أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ بَاطِلٌ بَاطِلٌ فَإِنِ اشْتَجَرُوْا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَهُ
Dari ‘Aisyah, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seorang wanita yang menikah tanpa izin walinya maka pernikahannya adalah batiil, batil, batil. Dan apabila mereka bersengketa maka pemerintah adalah wali bagi wanita yang tidak memiliki wali”. (HR. Abu Daud no. 2083, Tirmidzi no. 1102, Ibnu Majah no. 1879 dan Ahmad 6: 66. Abu Isa At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan)
عَنْ أَبِيْ مُوْسَى الأَشْعَرِيِّ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ : لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ
Dari Abu Musa Al Asy’ari berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak sah pernikahan kecuali dengan wali”. (HR. Abu Daud no. 2085, Tirmidzi no. 1101, Ibnu Majah no. 1880 dan Ahmad 4: 418. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ لاَ تُزَوِّجُ الْمَرْأَةُ الْمَرْأَةَ وَلاَ تُزَوِّجُ الْمَرْأَةُ نَفْسَهَا وَالزَّانِيَةُ الَّتِى تُنْكِحُ نَفْسَهَا بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا
Dari Abu Hurairah, ia berkata, “Wanita tidak bisa menjadi wali wanita. Dan tidak bisa pula wanita menikahkan dirinya sendiri. Wanita pezina-lah yang menikahkan dirinya sendiri.” (HR. Ad Daruquthni, 3: 227. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dan Syaikh Ahmad Syakir)
Imam Al Baghawi berkata, “Mayoritas ulama dari kalangan sahabat Nabi dan sesudah mereka mengamalkan kandungan hadits “Tidak sah pernikahan kecuali dengan wali”. Hal ini merupakan pendapat Umar, ‘Ali, ‘Abdullah bin Mas’ud, ‘Abdullah bin ‘Abbas, Abu Hurairah, ‘Aisyah dan sebagainya. Ini pula pendapat Sa’id bin Musayyib, Hasan al-Bashri, Syuraih, Ibrahim An Nakha’I, Qotadah, Umar bin Abdul Aziz, dan sebagainya. Ini pula pendapat Ibnu Abi Laila, Ibnu Syubrumah, Sufyan Ats Tsauri, Al Auza’i, Abdullah bin Mubarak, Syafi’i, Ahmad, dan Ishaq” (Syarh Sunnah, 9: 40-41).
Demikianlah sebagian pemuda, demi cinta sampai ingin mendapat murka Allah. Kawin lari sama saja dengan zina karena status nikahnya tidak sah.
Sumber : http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/bentuk-nikah-yang-terlarang-4-kawin-lari.html

Bentuk Nikah yang Terlarang (3)

Salah satu bentuk nikah yang terlarang yang kita bahas kali ini adalah nikah di masa ‘iddah. Masa ‘iddah adalah masa menunggu bagi wanita karena beberapa sebab yang mengakibatkan ia tidak boleh menikah dulu sampai masa ‘iddah itu selesai. Silakan lihat bahasan berikut.
Keempat: Nikah dalam Masa ‘Iddah
Yang dimaksud ‘iddah adalah masa menunggu bagi wanita dengan tujuan untuk mengetahui kosongnya rahim, atau dilakukan dalam rangka ibadah, atau dalam rangka berkabung atas meninggalnya suami. Seorang wanita tidak boleh dinikahi pada masa ‘iddahnya. Allah Ta’ala berfirman,

وَلَا تَعْزِمُوا عُقْدَةَ النِّكَاحِ حَتَّىٰ يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ
Dan janganlah kamu berazam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis ‘iddahnya.” (QS. Al Baqarah: 235). Imam Nawawi menyebutkan, “Tidak boleh menikahi wanita yang berada pada masa ‘iddah karena suatu sebab. … Salah satu tujuan masa ‘iddah adalah untuk menjaga nasab. Jika kita membolehkan nikah pada masa tersebut, tentu akan bercampurlah nasab dan tujuan nikah pun jadi sia-sia (karena kacaunya nasab).” (Al Majmu’, 16: 240)
Apa saja masa ‘iddah bagi wanita?
Iddah itu ada tiga macam:
  1. ‘Iddah hitungan quru’
  2. ‘Iddah hitungan bulan
  3. ‘Iddah wanita hamil
1. ‘Iddah hitungan quru’
‘Iddah bagi wanita yang masih mengalami haidh (bukan monopause) dan diceraikan suaminya adalah dengan hitungan quru’.
Allah Ta’ala berfirman,
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ
Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’.” (QS. Al Baqarah: 228).
Apa yang dimaksud tiga quru’?
Mengenai makna quru’, di sini ada khilaf di antara para ulama. Ada yang menganggap quru’ adalah suci, berarti setelah tiga kali suci, barulah si wanita yang diceraikan boleh menikah lagi. Ada pula ulama yang menganggap quru’ adalah haidh.
Contoh: Wanita ditalak tanggal 1 Ramadhan (01/09). Kapan masa ‘iddahnya jika memakai tiga kali haidh atau tiga kali suci? Coba perhatikan tabel berikut ini.
01/09 05/09 – 11/09 11/09 – 05/10 05/10 – 11/10 11/10 – 05/11 05/11 – 11/11 11/11
Talak ketika Suci
Haidh
Suci
Haidh
Suci
Haidh
Suci












  • Jika yang menjadi patokan adalah tiga kali suci: masa ‘iddah dimulai dihitung ketika masa suci saat dijatuhkan talak dan berakhir pada tanggal 5/11 (5 Dzulqo’dah) saat muncul darah haidh ketiga. Di sini masa ‘iddah akan melewati dua kali haidh.
  • Jika yang menjadi patokan adalah tiga kali haidh: masa ‘iddah dimulai dihitung dari haidh tanggal 5/9 (5 Ramadhan) dan berakhir pada tanggal 11/11 (11 Dzulqo’dah) setelah haidh ketiga selesai secara sempurna. Di sini masa ‘iddah akan melewati tiga kali haidh secara sempurna.
Jika kita perhatikan, hitungan dengan tiga kali haidh ternyata lebih lama dari tiga kali suci.
Manakah di antara dua pendapat di atas yang lebih kuat? Tiga kali suci ataukah tiga kali haidh?
Pendapat yang lebih kuat setelah penelusuran dari dalil-dalil yang ada, yaitu makna tiga quru’ adalah tiga kali haidh. Pengertian quru’ dengan haidh telah disebutkan oleh lisan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri. Beliau berkata kepada wanita yang mengalami istihadhoh,
إِنَّمَا ذَلِكَ عِرْقٌ فَانْظُرِى إِذَا أَتَى قُرْؤُكِ فَلاَ تُصَلِّى فَإِذَا مَرَّ قُرْؤُكِ فَتَطَهَّرِى ثُمَّ صَلِّى مَا بَيْنَ الْقُرْءِ إِلَى الْقُرْءِ
Sesungguhnya darah (istihadhoh) adalah urat (yang luka). Lihatlah, jika datang quru’, janganlah shalat. Jika telah berlalu quru’, bersucilah kemudian shalatlah di antara masa quru’ dan quru’.” (HR. Abu Daud no. 280, An Nasai no. 211, Ibnu Majah no. 620, dan Ahmad 6: 420. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih). Yang dimaksud dalam hadits ini, makna quru’ adalah haidh. Pendapat ini dianut oleh kebanyakan ulama salaf seperti empat khulafaur rosyidin, Ibnu Mas’ud, sekelompok sahabat dan tabi’in, para ulama hadits, ulama Hanafiyah dan Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya. Imam Ahmad berkata, “Dahulu aku berpendapat bahwa quru’ bermakna suci. Saat ini aku berpendapat bahwa quru’ adalah haidh.” (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 29: 308)
Kami tidak membawakan perselisihan ini lebih panjang. Itulah kesimpulan kami dari dalil-dalil yang kami pahami. Yang berpendapat seperti ini pula adalah guru kami –Syaikh Sholeh Al Fauzan- (Al Mulakhos Al Fiqhiyyah, 2: 426) dan penulis kitab Shahih Fiqh Sunnah, Syaikh Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim (Shahih Fiqh Sunnah, 2: 319-322).
Catatan:
  • Hitungan ‘iddah menggunakan kalender Hijriyah, bukan kalender Masehi.
  • Talak yang syar’i jika dilakukan ketika: (1) suci dan (2) belum disetubuhi.
2. ‘Iddah hitungan bulan
‘Iddah dengan hitungan bulan ada pada dua keadaan:
(1) masa ‘iddah dengan hitungan 3 bulan (hijriyah) yaitu bagi wanita yang ditalak sebagai ganti hitungan haidh, boleh jadi pada wanita monopause (yang sudah tidak mendapati haidh lagi) karena sudah beruzur, atau tidak mendapati haidh karena masih kecil, atau sudah mencapai usia haidh, namun belum juga mendapati haidh. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,
وَاللَّائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللَّائِي لَمْ يَحِضْنَ
Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid.” (QS. Ath Tholaq: 4).
(2) masa ‘iddah selama 4 bulan 10 hari (kalender hijriyah), yaitu bagi wanita yang ditinggal mati suaminya, baik sebelum disetubuhi ataukah sesudahnya, baik wanita yang dinikahi sudah haidh ataukah belum pernah haidh, namun dengan syarat wanita yang ditinggal mati bukanlah wanita hamil. Allah Ta’ala berfirman,
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنكُمْ وَيَذَرُ‌ونَ أَزْوَاجًا يَتَرَ‌بَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ أَرْ‌بَعَةَ أَشْهُرٍ‌ وَعَشْرً‌ا  فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُ‌وفِ  وَاللَّـهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ‌
Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis ‘iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.” (QS. Al Baqarah: 234)
Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَحِلُّ لاِمْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ أَنْ تُحِدَّ عَلَى مَيِّتٍ فَوْقَ ثَلاَثِ لَيَالٍ ، إِلاَّ عَلَى زَوْجٍ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا
Tidak dihalalkan bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk berkabung atas kematian seseorang lebih dari tiga hari, kecuali atas kematian suaminya, yaitu (selama) empat bulan sepuluh hari.” (HR. Bukhari no. 5334 dan Muslim no. 1491)
3. ‘Iddah wanita hamil
Masa ‘iddah wanita hamil adalah sampai melahirkan baik ‘iddahnya karena talak atau karena persetubuhan syubhat (seperti karena dihamili karena zina). Karena tujuan dari masa ‘iddah adalah untuk membuktikan kosongnya rahim, yaitu ditunggu sampai waktu lahir. Allah Ta’ala berfirman,
أُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَن يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.” (QS. Ath Tholaq: 4).
Para ulama berselisih pendapat, bagaimana jika wanita yang ditinggal mati suami dalam keadaan hamil?
Jumhur (mayoritas) ulama berpendapat bahwa masa ‘iddahnya berakhir ketika ia melahirkan, baik masa tersebut lama atau hanya sebentar. Seandainya ia melahirkan 1 jam setelah meninggalnya suaminya, masa ‘iddahnya berakhir dan ia halal untuk menikah.

Sumber : http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/bentuk-nikah-yang-terlarang-3.html

Bentuk Nikah yang Terlarang (2)

Di antara yang kita bahas saat ini adalah nikah mut’ah. Nikah mut’ah masih menjamur saat ini dan dianut oleh orang-orang Rafidhah (baca: Syi’ah). Begitu pula sebagian turis Arab ketika musim liburan, sengaja datang ke Bogor dan melakukan kawin kontrak selama 10 hari, sebulan atau dua bulan. Mengenai kawin kontrak akan dilanjutkan pada pembahasan kali ini.
Ketiga: Nikah Mut’ah (Kawin Kontrak)
Nikah mut’ah disebut juga nikah sementara (nikah muaqqot) atau nikah terputus (nikah munqothi’). Bentuk nikah ini adalah seseorang menikahi wanita pada waktu tertentu selama 10 hari, sebulan atau lebih dengan memberi biaya atau imbalan tertentu.
Nikah mut’ah di awal-awal Islam dihukumi halal lalu dinaskh (dihapus). Nikah ini menjadi haram hingga hari kiamat. Demikianlah yang menjadi pegangan jumhur (mayoritas) sahabat, tabi’in dan para ulama madzhab (Shahih Fiqh Sunnah, 2: 99).
Dari Sabroh Al Juhaniy radhiyallahu ‘anhu, ia berkata.

أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بِالْمُتْعَةِ عَامَ الْفَتْحِ حِينَ دَخَلْنَا مَكَّةَ ثُمَّ لَمْ نَخْرُجْ مِنْهَا حَتَّى نَهَانَا عَنْهَا.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah memerintahkan kami untuk melakukan nikah mut’ah pada saat Fathul Makkah ketika memasuki kota Makkah. Kemudian sebelum kami meninggalkan Makkah, beliau pun telah melarang kami dari bentuk nikah tersebut.”  (HR. Muslim no. 1406)
Dalam riwayat lain dari Sabroh, ia berkata bahwa dia pernah ikut berperang bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saat penaklukan kota Mekkah. Ia berkata,
فَأَقَمْنَا بِهَا خَمْسَ عَشْرَةَ – ثَلاَثِينَ بَيْنَ لَيْلَةٍ وَيَوْمٍ – فَأَذِنَ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فِى مُتْعَةِ النِّسَاءِ … ثُمَّ اسْتَمْتَعْتُ مِنْهَا فَلَمْ أَخْرُجْ حَتَّى حَرَّمَهَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-.
Kami menetap selama 15 hari (kira-kira antara 30 malam atau 30 hari). Awalnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan kami untuk melakukan nikah mut’ah dengan wanita. … Kemudian aku melakukan nikah mut’ah (dengan seorang gadis). Sampai aku keluar Mekkah, turunlah pengharaman nikah mut’ah dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Muslim no. 1406)
Dalam lafazh lain disebutkan,
فَكُنَّ مَعَنَا ثَلاَثًا ثُمَّ أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بِفِرَاقِهِنَّ.
Wanita-wanita tersebut bersama kami selama tiga hari, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk berpisah dari mereka.” (HR. Muslim no. 1406)
Dalam lafazh lainnya lagi dari Sabroh Al Juhaniy, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّى قَدْ كُنْتُ أَذِنْتُ لَكُمْ فِى الاِسْتِمْتَاعِ مِنَ النِّسَاءِ وَإِنَّ اللَّهَ قَدْ حَرَّمَ ذَلِكَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
Wahai sekalian manusia. Awalnya aku mengizinkan kalian untuk melakukan nikah mut’ah dengan para wanita. Sekarang, Allah telah mengharamkan (untuk melakukan mut’ah) hingga hari kiamat.” (HR. Muslim no. 1406)
Riwayat di atas menunjukkan bahwa nikah mu’tah atau kawin kontrak adalah nikah yang fasid, tidak sah. Sehingga dari sini pasangan yang menikah dengan bentuk nikah semacam ini wajib dipisah. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk dipisah dalam hadits Sabroh di atas.
Bagaimana jika tidak ada di perjanjian awal, namun hanya ada di niatan yaitu jika si pria kembali ke negerinya, ia akan mencerai istrinya? Hal ini beda dengan nikah mut’ah di awal. Yang kedua adalah nikah dengan niatan cerai, si istri awalnya tidak tahu dengan niatan ini.
Menurut kebanyakan ulama, jika seseorang menikah dan tidak membuat syarat, namun dalam hati sudah diniatkan untuk bercerai pada waktu tertentu, nikahnya tetap sah. Alasannya, karena niatan seperti itu bisa saja terwujud, bisa saja tidak. Namun ulama lainnya menganggap nikah bentuk kedua ini masih termasuk nikah mut’ah seperti pendapat Al Auza’i dan Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin (Shahih Fiqh Sunnah, 2: 101).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan,
فَأَمَّا أَنْ يَشْتَرِطَ التَّوْقِيتَ فَهَذَا ” نِكَاحُ الْمُتْعَةِ ” الَّذِي اتَّفَقَ الْأَئِمَّةُ الْأَرْبَعَةُ وَغَيْرُهُمْ عَلَى تَحْرِيمِهِ … وَأَمَّا إذَا نَوَى الزَّوْجُ الْأَجَلَ وَلَمْ يُظْهِرْهُ لِلْمَرْأَةِ : فَهَذَا فِيهِ نِزَاعٌ : يُرَخِّصُ فِيهِ أَبُو حَنِيفَةَ وَالشَّافِعِيُّ وَيَكْرَهُهُ مَالِكٌ وَأَحْمَد وَغَيْرُهُمَا
“Jika nikah tersebut ditetapkan syarat hanya sampai waktu tertentu, maka inilah yang disebut nikah mut’ah. Nikah semacam ini disepakati haramnya oleh empat imam madzhab  dan selainnya. … Adapun jika si pria berniat nikah sampai waktu tertentu dan tidak diberitahukan di awal pada si wanita (nikah dengan niatan cerai, pen), status nikah semacam ini masih diperselisihkan oleh para ulama. Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i memberikan keringanan pada nikah semacam ini. Sedangkan Imam Malik, Imam Ahmad dan selainnya melarang (memakruhkan)-nya.” (Majmu’ Al Fatawa, 32: 107-108)
Dinukil dari Imam Nawawi,
قَالَ الْقَاضِي : وَأَجْمَعُوا عَلَى أَنَّ مَنْ نَكَحَ نِكَاحًا مُطْلَقًا وَنِيَّته أَلَّا يَمْكُث مَعَهَا إِلَّا مُدَّة نَوَاهَا فَنِكَاحه صَحِيح حَلَال ، وَلَيْسَ نِكَاح مُتْعَة ، وَإِنَّمَا نِكَاح الْمُتْعَة مَا وَقَعَ بِالشَّرْطِ الْمَذْكُور ، وَلَكِنْ قَالَ مَالِك : لَيْسَ هَذَا مِنْ أَخْلَاق النَّاس ، وَشَذَّ الْأَوْزَاعِيُّ فَقَالَ : هُوَ نِكَاح مُتْعَة ، وَلَا خَيْر فِيهِ
Al Qodhi Husain berkata, “Para ulama sepakat bahwa barangsiapa yang menikah dan niatnya hanya tinggal bersama si wanita selama waktu tertentu (nikah dengan niatan cerai, pen), nikah yang dilakukan sah dan halal. Nikah semacam ini tidak termasuk nikah mut’ah.  Disebut nikah mut’ah jika ada persyaratan di awal. Namun Imam Malik mengatakan, “Melakukan nikah dengan niatan cerai bukanlah tanda orang yang memiliki akhlak yang baik.” Al Auza’i sedikit berbeda dalam hal ini, beliau berkata, “Nikah semacam itu tetap termasuk nikah mut’ah dan tidak ada kebaikan sama sekali.” (Syarh Muslim, 9: 182)
Demikian sajian singkat mengenai kawin kontrak. Dari sini kita dapat simpulkan haramnya nikah semacam itu, walau dilakukan oleh turis Arab sekalipun. Kalau orang Arab salah, maka kita katakan salah. Karena yang melakukan nikah semacam ini sengaja melegalkan zina, namun dikelabui dengan merubah nama. Jika diselidiki lebih jauh tentang kelakukan turis Arab di Bogor, ternyata para wanita yang kawin kontrak tidak jauh dari para WTS.  Nikahnya pun dilakukan tanpa izin wali atau dengan wali yang asal comot. Pak Naib yang biasa memandu mengucapkan akad nikah tidak tahu pula asal-usulnya. Yang jelas -setahu kami-, kawin kontrak di negeri kita termasuk dalam tindakan pidana. Namun begitulah karena fulus, kawin kontrak masih tetap terus menjamur.
Sumber : http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/bentuk-nikah-yang-terlarang-2-nikah-mutah.html